Home
Wajahnya beku, jika ia ingin senyum maka senyumlah dia, jika tidak, maka siapapun yang datang ekspresi bekunya tetap saja begitu. Penjaga warung kopi di Jl. Kedondong Surabaya itu memang terkenal dengan tampang apa adanya. Sebagian teman yang punya pengalaman ngopi pertama kali di sana biasanya berkomentar, “kok wajah penjaganya gak senyum, sih” mendengar itu saya hanya bisa berkomentar, “Jika ia ingin senyum maka tersenyumlah dia”. Hal itu misalnya dialami oleh sahabat saya yang bernama Brahmanto Anindito. Jangankan teman saya tadi, pendata kegiatan ekonomi dari kelurahan dan kecamatan saja juga diperlakukannya secara sama. Tapi jangan dulu
berprasangka bahwa warung kopi tersebut sepi. Pengunjungnya sangat ramai sekali mulai dari kuli bangunan, tukang sampah, penjual bakso keliling, perangkat RT/RW, hingga orang-orang kaya yang rumahnya menjulang tinggi dan garasi mobil yang luas yang memang mengepung warung kopi yang hanya terbuat dari kayu dan atap asbes tersebut. Kopi susunya memang enak sekaligus sangat murah untuk ukuran harga di Surabaya. Dari sana saya kemudian berpikir, mungkin inilah jiwa sosialisme yang pernah diterapkan di Uni Soviet atau yang sekarang banyak dianut di dunia selatan Benua Amerika.

Prilaku kaum sosialis dalam berkegiatan ekonomi memang tidak seperti doktrin dalam ajaran pelayanan yang ada dalam dunia kapitalisme. Jika kapitalisme menghendaki bahwa pembeli (customer) sebagai raja dan hendaklah diperlakukan layaknya raja seperti kita menyapanya dengan hormat, memberikan senyuman walaupun senyum itu harus dipaksakan hingga hal-hal sepele seperti berdiri jika ada pembeli datang, serta menanyakan apa yang bisa ia bantu. Tidak demikian dengan doktrin pelayanan dalam ekonomi kapitalisme itu. Dalam doktrin sosialisme, mereka tidak harus melakukan itu. Bagi mereka pembeli adalah tamu kapital yang selayaknya diperlakukan seperti apa adanya. Terserah mereka mau beli atau tidak yang penting mereka berjualan. Dalam bahasa Suroboyoan disebut “sak karepmu”. Bar-bar di jaman Uni Soviet konon juga banyak yang berperilaku seperti ini. Hal seperti itulah yang saya dapati di warung kopi tersebut. Semuanya duduk sejajar tak peduli ia kaya ataupun hanya kuli bangunan. Mereka minum dari cangkir yang sama dengan yang diminum oleh orang lain di sebelahnya. Tapi jangan salah, di warung kopi ini banyak berkembang diskusi-diskusi yang tak kalah menarik dengan apa yang ditampilkan di televisi. Mulai dari masalah bola hingga kepala pemerintahan. Mereka fasih berbicara masalah-masalah tersebut dan cenderung orisinal karena pemikiran mereka adalah pemikiran yang tak harus dibatasi dengan footnote-innote yang melelahkan.
Saya menyebutnya sebagai sosialisme warung kopi. Setelah berdiskusi dalam secangkir kopi, mereka pun kembali tanpa harus menunggu penutupan yang biasanya dilakukan oleh pembawa acara dan posisinya akan digantikan oleh pembeli selanjutnya. Seserubut kopi pun menjadi langkah awal dalam memulai hari. “Piro, Ton?” tanyaku pada penjual kopi, “Sewu, Cak.” Jawabnya setelah melihat saya hanya meminum secangkir kopi susu. “Iki, Ton, sosok..” saya menjulurkan uang Rp. 5000 padanya. Ia pun memberikan kembalian empat ribu pada saya. “Suwon” kataku sebagai ucapan terima kasih khas Surabaya. “Iyo”, begitu jawabnya singkat. Saya tak ambil pusing dengan ewuh pakewuh karena saya memang orang kecil dan biasa hidup dengan dan sebagai orang kecil. Inilah nikmatnya hidup yang kadang terampas dari orang-orang besar. selesai ngopi di warung sosialis, biasanya saya melanjutkan hari saya dengan berangkat ke anak-anak untuk menyesatkannya ke jalan yang benar dengan memberi mereka aktifitas belajar.