Uceng
merupakan salah satu jenis ikan yang hidup di air tawar, atau lebih
tepatnya berada di kali (sungai) yang alirannya tidak terlalu besar.
Mungkin sebagian besar orang belum terlalu mengenal uceng (ikan uceng),
karena tidak semua sungai yang ada di daerah menjadi habitat uceng. Saya
sendiri pertama kali mengenal ikan uceng ketika mampir di Warung
Barokah Pak Sabar, meskipun Saya asli Blitar. Lokasi warung ini berada
di Jl. Semeru No. 24, Babadan, Wlingi, Blitar. Kalau dari Pasar Wlingi,
ambil arah ke Utara menuju jalan ke Wisata Rambut Monte atau Bendungan
Selorejo, warungnya ada di Sebelah kanan jalan.
Waktu itu, Saya bersama tim wisatakuliner.com baru saja pulang dari Wisata Rambut Monte
menuju Malang dengan melewati jalur selatan. Kami tiba di warung Pak
Sabar sekitar jam 11 siang, cuacanya agak mendung, warungnya cukup
besar, mungkin mampu menampung lebih dari 50 pengunjung. Ada cukup
banyak menu yang ditawarkan, ada sayur uceng, lele masak, kare ayam,
ayam penyet, lele penyet, ayam panggang, rawon dan nasi campur yang
lauknya bisa kita pilih sendiri. Tapi, dari sekian banyak menu yang ada,
yang paling dicari yaitu olahan ucengnya (uceng goreng).
Sebenanya
kami berniat untuk menikmati uceng goreng, tapi keberuntungan sedang
tidak berpihak kepada kami. Secara kebetulan, pada hari itu tidak ada
uceng sama sekali di kali belakang, pada hal biasanya setiap hari menu
uceng goreng selalu tersedia, itulah keterangan yang Saya terima. Namun
kekecewaan kami terobati dengan menu olahan uceng. Saking penasarannya
dengan uceng, semua menu olahan uceng sampai kami pesan semua, mulai
dari sayur uceng, rempeyek uceng (meski ada ikan wader di dalamnya yang
lebih dominan) dan juga bothok uceng.
Mungkin
Anda akan bertanya-tanya, seperti apa uceng itu? Jawabannya sangat
mudah, Anda pasti sudah tahu ikan lele dengan jelaskan? Nah, uceng itu
bentuknya mirip dengan lele, sama-sama memiliki sungut, tapi ukurannya
lebih kecil dan kepalanya lebih pipih dan sempit. Meski belum bisa
merasakan uceng goreng, tapi Saya sudah cukup puas menikmati uceng yang
dimasak kuah santan. Dagingnya memang cukup sedikit, tapi keset dan
gurih, bumbunya meresap ke dalam dan agak pedas. Sedangkan untuk
bothoknya, uceng yang digunakan berukuran jauh lebih kecil. Mungkin
lebih kecil dari jari telunjuk, meski kecil tapi rasanya gurih-gurih
pedas dalam balutan kelapa halus.
Setelah
selesai menikmati ucengnya, jangan lupa untuk mencicipi juga tape ketan
hijaunya yang manis sebagai penawar rasa pedas. Makanan di pedesaan
memang jauh berbeda dengan masakan kota, baik dari segi rasa maupun
harga. Kalau untuk rasa, benar-benar khas yang sulit ditemukan di daerah
perkotaan. Sedangkan untuk harga benar-benar miring, untuk sayur
ucengnya biasa dibandrol 5ribu rupiah untuk seporsi, tapi karena kami
minta sedikit, jadi cuma kena 3ribu saja. Untuk pepes 1.500 per bungkus,
dan yang membuat kami cukup tercengang dan keheranan harga tape ketan
hijaunya, cuma 5ratus rupiah saja. Kalau diperkotaan, uang 5ratus tidak
ada artinya, ongkos parkir saja minimal seribu rupiah.
Sebelum
masuk ke dalam warung, tepat di sebelah pintu masuk ada yang jual rujak
cingur yang menggoda. Tak luput dari pandangan kami, rujak cingur juga
masuk ke dalam menu makan siang kami kali ini. selain rasanya yang enak,
harganya juga murah, hanya 5ribu rupiah untuk satu porsi. Karena
terlalu sibuk mencicipi berbagai menu yang ada, kami sampai tidak sadar
kalau ruangannya sudah dipenuhi pengunjung, di luar hujan juga
mengguyur. Setelah hujan cukup reda, akhirnya perjalanan kami lanjutkan
kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar